Agama dan kehendak berkuasa
Oleh: M. Eka Gusti Agung P.
Setiap manusia memiliki kehendak untuk berkuasa, seperti itulah
yang dikatan oleh seorang filsuf eksistensilisme Jean paul Sartre. Kehendak
untuk berkuasa itu atau dalam bahasa nietsche will to power ada dalam
diri manusia baik disadari maupun tidak disebabkan karena setiap manusia
memncoba untuk mengenal dirinya sendiri dengan bantuan orang lain. Semisal,
manusia berbicara atau berargumen tentang ide dan gagasannya kepada
teman-temannya. Ia mencoba mengenal dirinya sebagaimana dikenal orang lain
dan ingin mengetahui seberapa besar
pengetahuannya atau dapat pula ia ingin mengenal dirinya sendiri sebagai
seorang intelek. Namun di sisi lain, secara tidak sadar ia mencoba menguasai
orang lain agar ide dan gagasannya mempengaruhi orang lain atau ingin orang
lain mengenal dirinya sebagai seorang intelek.
Kehandak untuk berkuasa (Will to power) didalam diri manusia
tidak dapat hilang atau dihilangkan, ia selalu ada selama manusia memiliki jiwa
dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes
yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo
homini lupus). Thomas Hobbes mengatakan bahwa pada hakikatnya kehidupan manusia
selalu diwarnai oleh persaingan, pertantangan dan peperangan yang di mana
setaip manusia lainnya dapat menjadi musuh. Hal itu terjadi karena manusia
mencoba untuk bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan-keinginannya.
Persaingan, pertentangan dan peperangan atau segala konflik yang terjadi
didorong oleh kehendak berkuasa (will to power) demi memenuhi kebutuhan
dan keinginan-keinganan hidupnya. Oleh karena itu, konflik bersifat niscaya
atau tidak bisa hilang dalam kehidupan manusia. Begitupun dengan kehendak untuk
berkuasa, ia tidak akan hilang dan dihilangkan dalam diri manusia.
Kendatipun kehendak untuk berkuasa dalam diri manusia tidak bisa
hilang, namun ia dapat diatur atau dikontrol. Nilai etika dan agama lah yang
dapat mengontrol kehandak berkuasa dalam dirinya. Agama memiliki fungsi
edukatif dalam kehidupan manusia yang dapat membentuk karakter serta mengatur
sikap dan tindakan dalam kehidupan manusia. Ajaran agama menjadi sebuah pedoman untuk mengontrol kedendak dari manusia itu sendiri. Semisal dalam etika agama,
melakukan sesuatu dengan disertai pamrih atau bersikap sombong yang juga
merupaka kehendak untuk berkuasa dilarang oleh dogma agama atau ajaran agama yang memerintahkan manusia berpuasa. perintah untuk berpuasa mengajarkan manusia untuk tidak hanya menahan rasa lapar, melainkan pula ego, hawa nafsu dan keinginan untuk memiliki serta menguasai.
Namun pada dewasa ini, agama yang seharusnya dapat mengekang serta
mengatur kehendak untuk berkuasa agar tak terjadi konflik dan kekerasan, malah
menjadi alat untuk saling menguasai manusia lainnya. Semisal politisasi agama dan
perang teror atas nama jihad atau bela agama yang dilakukan oleh ISIS dan ormas
islam lainnya.
Seakan-akan fenomena agama yang terjadi dalam kehidupan manusia
kehilangan substansi. Para pemeluk agama khususnya islam yang fanatis atau
dikenal dengan islam berwajah garang, islam marah bukan islam ramah, sedang
mengalami penyakit megalomania. Penyakit yang merasa agamanya atau kelompok
besar dan benar sendiri sedangkan agama atau kelompok lain dianggapnya rendah
dari padanya.
Jika agama dalam diri manusia telah kehilangan substansinya, maka
agama hanya sekedar menjadi identitas tanpa substansi. Bahkan pula agama hanya
sebatas alat politisasi dan memuaskan kehendak untuk berkuasa dalam dirinya
sendiri. Bukankah begitu?
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas saran dan kritiknya