Reforma agraria dan kedaulatan petani: Dimana?
“Petani, pahlawan tanpa
tanda jasa.
Kalimat itu pantas diutarakan untuk para
petani. Menyediakan pangan untuk masyarakat dunia di atas penindasan sistem
kapitalisme. Berkat mereka kita dapat makan dan hidup walau mereka. sendiri tahu keuntungan yang
didapat dari hasil gabahan tak seberapa. Lalu apa yang masyarakat dunia berikan
sebagai penghargaan untuk para petani?
Hari pangan
sedunia merupakan hari di mana masyarakat dunia mengapresiasi
para petani yang telah bersusah payah bekerja sebagai pejuang pangan dan bentuk pengharapan
agar para petani pangan selalu mengolah
dan menghasilkan pangan yang bergizi dan berkualitas tinggi. Lebih dari 150
negara di dunia memperingati hari itu,
tepatnya pada tanggal 16 oktober. Tak hanya itu, di Indonesia pun Hari
Tani Nasional juga merupakan hari penting dalam memperingati
tanda jasa petani yang telah
ditetapkan dalam Keppres nomer 169, bahwa tanggal 24
september sebagai Hari
Tani Nasional.
Penetapan
Hari Tani Nasional
dilatarbelakangi oleh hari kelahiran Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang UUPA ( undang-undang
pokok agraria ) yang
mengindikasikan bahwa tanpa peletakan dasar
keadilan bagi petani dalam
menguasai sumber agraria,
seperti air, lahan/tanah, kekayaan alam lainnya tidak akan ada kedaulatan petani. Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.
Namun
berbeda dengan fakta yang terjadi, berdasarkan data
dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) lahan
pertanian selalu mengalami alih fungsi sekitar 700
hektare per-tahun. Pada tahun 2013, lahan pertanian
mencapai 2.835 hektare. Angka
itu menyusut 720,21 hektare pada tahun
2014 dan berkurang lagi 700 hektare pada
2015. Lahan
pertanian beralih fungsi menjadi perumahan, industri, dan proyek-proyek
infrastruktur. (Tempo,09/08/2016).
Merosotnya lahan di jawa tengah
Jawa
tengah menjadi salah satu provinsi yang mengalami penyusutan lahan pertanian.
Data dari Badan Pusat Statistika (BPS)
menyebutkan, lahan pertanian mengalami penyusutan mencapai 6,484 hektar di 35
kabupaten/kota di jawa tengah dalam sepuluh tahun terakhir ini. Itupun belum
termasuk lahan pertanian yang hilang akibat bencana alam seperti rob, longsor
maupun abrasi pantai.
Ditambah
lagi dengan kasus PT. Semen indonesia yang ingin berdiri di kawasan gunung
kendeng. Masyarakat petani kendeng terancam nasibnya oleh rencana pembangunan
industri pertambangan yang dilakukan oleh PT. Semen Indonesia yang sekarang
sedang melakukan proses pembangunan.
Apabila
PT. Semen Indonesia berhasil di kawasan pegunungan kendeng yang terjadi
pertama, perusakan
ekosistem dan
risiko bencana ekologis di kawasan tersebut, pencemaran 33
mata air di wilayah Grobogan, 79 mata air di wilayah Sukolilo Pati dengan debit
relatif konstan
yang menjadi sumber air
bagi 8000 kepala keluarga dan lebih dari 4000 hektar sawah. Kedua, pekerjaan warga sekitar
terancam. Benarkah kah PT. Semen Indonesia menjanjikan akan menyerap lebih
banyak tenaga kerja melebihi tenaga kerja sebelumnya?
Saat ini PT. Semen Indonesia melakukan pembangunan
kontruksi pabrik dengan 3.000 tenaga kerja. Diperkirakan lebih dari 1.000
tenaga kerja berasal dari penduduk lokal. Jika kontruksi pabrik telah selesai,
lebih dari 1.000 tenaga kerja lokal tidak akan terpakai lagi. Selain itu pabrik
semen hanya menyerap 300.
Itu pun sebagian adalah pekerja lama dari pabrik semen Tuban yang lebih profesional. Lalu bagaimana nasib
petani dan warga sekitar?
Tak hanya itu, di
jawa tengah khususnya, permasalahan agraria merupakan bahasan topik hangat yang
tidak ada henti-hentinya. Selain kasus PT. Semen indonesia dengan petani
kendeng, kini terdapat pula sengketa tanah yang terjadi disurokonto kendal,
antara masyarakat dan perhutani. Dari kasus keduanya berujung pada permasalahan
yang lebih besar. Pemberian lahan pada sebagian pihak denga berdalih investasi
malah menjadi semakin parah. Pemerintah setempat bukannya bertugas
mensejahterakan dan lebih berpihak pada khalayak masyarakat, kini justru
cenderung membela para investor-investor yang menjadi lumbung keungan daerah. Hal itu dapat dibuktikan pada pernyataan
gubernur jawa tengah Ganjar Prawono saat di wawancarai oleh reporter tirto.
Menjadi
jelas bahwa dewasa ini petani dapat kita sebut sebagai "korban pembangunan". Seharusnya Kedaulatan Petani, sudah waktu nya dijadikan
ikon dalam mendukung petani agar lebih berkualitas dengan menegaskan kembali
reforma agraria, mempertahankan lahan-lahan pertanian serta membela para petani
untuk mendapatan kembaliah lahannya. Jika hal itu tidak dilaksanakan dengan
maksimal, tidak akan ada reforma agria, tidak akan ada kedaulatan petani, serta
tidak akan kedaulatan pangan di Indonesia. Bukan begitu?
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas saran dan kritiknya