Ibnu Khaldun: Masyarakat dan Negara

Image by: Gusti

Konsep Masyarakat dan Negara dalam Mukaddimah Ibnu Khaldun

 Siapa yang tidak kenal Ibn Khaldun dalam pemikiran Islam atupun sosiologi. Bahkan dia digadang sebaai bapak sosiologi pertama jauh sebelum Inggris melahirkan August Comte. Pemikiranya yang membahas  umah membuktikanya. Pemikiranya mengenai negara sering disebut dengan siklus khaldunian. Menurut Khaldun, tidak ada bedanya antara negara dan makhluk hidup lainya. Semuanya punya umur dan masa waktu tertentu. Maka dalam siklus khaldunian negara yang disamakan dengan mkahluk hidup mempunyai umur 120 tahun. Umur itu terbagi menjadi tiga generasi. Masing-msing generasi mengisi 40 tahun.
Dari ketiga generasi tersebut 40 tahun pertama negara digambarkan sebagai daerah primitif dengan segala ketertinggalanya. Masih hidup dalam desa dan padang pasir, kehidupan generasi pertama jauh dari mewah dan beradab. Kemudian muncul generasi kedua yang maju. Mereka sudah tinggal di kota dan penuh dengan kemewahan dan sudah beradab dalam beberapa aspek kehidupan. Generasi kedua inilah yang sudah mampu mendirikan konsep negara, sudah tidak lagi primitif. Generasi ketiga adalah saat mereka tenggelam oleh kemewahan. Karena tenggelam dalam kemewahan generasi ini menjadi kehilangan makna kehormatan, keperwiaraan dan keberanian.
Negara dalam perkembanganya melalui lima tahap :

1. Tahap Pendirian Negara : tahap untuk mencapai tujuan, penaklukan, dan merebut kekuasaan. Negara tidak akan tegak kecuali dengan ashabiyah. Khaldun berpendapat ashabiyah adalah sesuatu yang membuat orang menyatukan upaya untuk mencapai tujuan yang sama dan mempertahankan diri.

2. Tahap Pemusatan kekuasaan : pemusatan ini menurut Khaldun adalah sesuatu hal yang sangat alamiah. Setyelah melihat kekuasaanya mapan, maka pemegang kekuasaan ingin memonopoli pemerintahan dengan cara menghancurkan ashabiyah. Dia juga akan menjatuhkan anggota ashabiayhnya dari roda kekuasaan-pemerintahan.

3. tahap Kekekosongan :  tahap untuk menikmati buah dari kekuasaan. Hal ini seperti watak alamiah manusia yang serakah, maka seorang pemimpin akan terjerembab pada kemewahan dan kemegahan dan cendrung mengabaikan peninggalan-peninggalan. Negara pada tahap ini sedang berada pada tahap perkembanganya.

4. tahan Ketundukan dan Kemalasan : tahap ini akan menunjukan bahwa negara sedang dalam keadaan statis. Tidak ada perubahan apapun yang terjadi dan jelas sudah bahwa negara sedang menunggu bagaimana kisahnya akan berakhir.

5. Tahap Penghamburan Kekayaan : negara tidak lagi mampu menopang dirinya yang semkin tua. Penyakitnya yang kronis karena terlalu sering foya-foya akan membawa negara ke lembah kehancuranya.

Kesamaan Khaldun dan Soeharyo bisa kita temui. Jika Soekarno mengatakan jangan pernah melupakan sejarah, maka Khaldun mengatakan jangan sampai melupakan Ashabiyah yang melatarbelakangi berdirinya suatu kerajaan/negara. Kesemena-menaan pemerintahan biasanya karena adanya keterputusan sejarah. Misal saja raja pada generasi kedua yang sudah memerintah negara dengan mapan akan menghialngkan ashabiyah, masyarakatnya pun tidak tahu apa yang melatarbelakangi munculnya sebuah kerajaan (kontrak sosial Roesoew). Maka menurut Khaldun negara yang tak ingin hancur harus punya ashabiyah yang kuat. Jika kita alih bahasakan adalah piranti nasionalisme yangbegitu kuat.
Selanjutnya dalam Bab III pasal 4 dan 5 Khaldun mengatakan menyatukan umat dengan agama adalah hal yang sangat dianjurkan. Aroma keagamaan akan menghilangkan rivalitas dan keirian. Maka masyarakat akan bergerak bersama untuk memperjuangkan kebenaran. Sudut pandang masyarakat akan menyatu dan tujuanya sama, sehingga mereka siap memperjuangkan terwujudnya tujuan negara sampai titik darah penghabisan. Jika kita membaca kearah Indonesia sekarang, jika agama gagal memerankan fungsi yang seperti itu, atau hubungan negara-agama kurang harmonis, maka tidak ada rakyat yang akan mau mengorbakan nyawanya demi negara. Maka menarik kita melihat pendapat Brian Grin dan Roger Finke yang menyoroti favoritisme agama oleh negara.
Setelah pemakalah sampaikan bahwa setiap negara mempunyai daya hidup yang berbeda, maka Khaldun juga menyebutkan faktor yang bisa memperpanjang usia suatu negara. Negara yang umurnya bertambah dari masa pada umumnya sebuah negara adalah yang mempuyai negara bagian yang lebih kecil secara meluas. Semakin banyaknya negara bagian yang menjadi bagian, semakin bertambah kuat dan daya tahan hidup negara tersebut akan lebih lama. Sementara untuk menjadikan negara bagian menjadi bagianya, suatu negara harus mempunyai ashabiyah yang tinggi. Maka ashabiyah sangat krusial, semakin tinggi berpotensi menjadikan negara semakin besar dan akan sulit mengalami kehancuran.
Selanjutnya setelah menjadikan negaranya menjadi negara besar dengan persatuan dari berbagai kabilah, maka ada permasalahan baru yang akan muncul. Masalah tersebut adalah demokratisasi yang harus dikelola karena jelas akan terjadi perbedaan yang intensitas jumlahnya meningkat. Sama dengan yang diungkapkan H. Bergson, kewajiban etis berasal dari desakan sosial yang bertujuan untuk tetap mempertahankan kehidupan dan kerukunan masyarakat. Semua itu karena suatu masyarakat menganut moral tertutup. Prinsip dasar moral ini adalah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan keluar. Keluarga dan negara adalah sama-sama institusi yang menggunakan moral tertutup. Kerukunan dalam keluarga dapat membina seseorang menjadi warga negara yang baik, tetapi menjadi anggota negara yang baik bukan jaminan menjadi anggota manusia yang baik. Dalam negara setiap warga negaranya akan selalu membela sesama warga negaranya dan melawan musuh, bahkan dalam keadaan damai. Kedamaian selama ini tidak lain sebagai persiapan perang , sekurang-kurangnya untuk pertahanan tetapi bisa juga dalam arti agresi.
Khaldun dalam membicarakan negara sedikit banyak akan berporos pada bagaimana kita akan mengelola ashabiyah. Melihat indonesia saat ini kita memang telah kehilangan beberapa generasi yang memungkinkan generasi kita ini adalah generasi yang tidak mengetahui latar belaknag kenapa negara ini terbentuk. Ditambah luasnya negara kita yang tidak sebanding dengan ashabiyah yang kuat dan adanya potensi laten dari “moral tertutup” pemerintahan harus pintar mengelola ashabiyah/nasionalisme.

Sebagai makhluk sosial kita memerlukan orang lain untuk mendapatkn kebutuhan pokok kita. Maka terdoronglah masing-masing individu untuk melakukan interaksi. Manusia akan mengiunginkan sesuatu yang dimiliki manusia lainya karena terdorong oleh animal power. Agar potensi membunuh bisa dtekan maka dibutuhkanlah seorang penguasa yang mampu memaksa dan mengelola dengan bantuan fanatisme/ashabiyah. Maka indonesia harus dipimpin oleh seorang yang mampu mengkat fanatisme kelompok (moral tertutup) kemudian diramu dan dijadikan satu sebagai suatu bentuk ashabiyah negara  (nasionalisme).


*Hasil membaca buku karya Irham Masturi 2011 "Mukaddimah" Jakarta: Pustaka Pelajar

Comments