Image by: Gusti |
Islam Formalisme dan
Ajarannya
Melihat fenomena yang terjadi dewasa ini,
dimana sebagian umat islam seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam
(FPI) berusaha untuk melakukan formalisasi agama. Mereka menghendaki diberlakukannya
syariat islam menjadi hukum Negara. Hal ini dibuktikan saat pemimpin mereka
yakni Habib Rizieq Sihab menyampaikan ceramah singkatnya di konferensi pers,
senin (13/2/2017) yang dimuat di beberapa surat kabar online seperti kompas dan
Tribunnews.
Menanggapi fenomena tersebut, apa yang telah dilakukan
FPI merupakan suatu hal yang belum mencapai pada kematangan konsep. Sekalipun
konsep telah masuk pada tataran yang cukup, namun tidak menjamin pada asas
praksisnya. Selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktik. Oleh sebabnya
kita harus berhati-hati dalam merumuskan orientasi paham keislaman.
Dalam prakteknya, apa yang dinamakan
formalisasi syariat hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat simbolis saja
tanpa menyentuh sifat substansialnya. Pengupayaan formulasasi syariat yang
lebih bersifat simbolis sama halnya dengan mereduksi arti syariat itu sendiri.
Akan ada pula praktek korup dengan melakukan pemilintaran syariat islam jika
hal tersebut dijadikan hukum Negara.
Jika alasan FPI mengupayakan pemberlakuan
syariat islam menjadi hukum Negara adalah karena hukum yang ada pada saat ini
tidak bisa menyelesaikan permasalahn yang terjadi, semisal masih banyaknya KKN,
penindasan, ketidakadilan yang terjadi. Maka pemberlakuan syariat menjadi hukum
Negara bukanlah solusi yang tepat. Menurut hemat penulis, terdapat logical
fallacy dalam cara berfikir dalam mengatasi permasalahan tersebut. Banyaknya
korupsi, kolusi, nepotisme dan segala tindakan penyelewengan lainnnya merupakan
bentuk praktek yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Sedangkan pemberlakuan
syariat islam menjadi hukum Negara adalah dalam bentuk sistem. Penyalahan
terhadap sistem akibat kesalahan praktek yang dilakukan oleh beberapa oknum
adalah bukti kesalahan cara berfikir. Padahal kesalahan pada praktek apalagi
yang hanya dilakukan oleh beberapa oknum belum tentu menunjukkan kesalahan pada
sistem.
Semisal saja, ketika anda memiliki sepeda
motor dan ban sepeda motor anda selalu bocor padahal telah anda tambal beberapa
menit yang lalu, apa yang akan anda lakukan? Membeli motor baru? Atau memilih
untuk mengganti ban motor anda?
Contoh diatas sama halnya dengan kasus
pemberlakuan syariat dan banyak tindakan penyelewengan yang melanda Negara
seperti korupsi. Memberlakukan syariat islam sebagai hukum Negara dalam
mengatasi tindakan penyelewengan sama dengan membeli motor baru untuk mengatasi
masalah ban motor anda yang selalu bocor. Bahkan lebih buruk dampaknya dari
analogi yang diberikan oleh penulis, Karena jika pemberlakuan syariat islam
menjadi hukum Negara diberlakukan, maka akan banyak pihak yang merasa
dirugikan.
Padahal, syariat yang diterapkan Rasul SAW
mempunyai cakupan makna yang sangat luas. Prinsip syariat lebih memprioritaskan
kemaslahatan umat. Seperti upaya Rasul SAW untuk menghapus perbedaan kelas
antara budak dan tuan, mengangkat derajat wanita di tengah budaya patriarki,
persaudaraan antar umat Islam, komitmen hubungan baik antara kaum muslim dan
non-muslim, peningkatan pendidikan, menegakkan keadilan, mengupayakan
kesejahteraan ummat serta pemerataan ekonomi umat merupakan bentuk upaya beliau
dalam memperbaiki permasalahan sosial dan menyiarkan agama islam.
Hal ini senada dengan adagium “menghindari
kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya mencapai keuntungan/kebaikan (dar’u
al-mafassid muqaddam ala jalbi al-mushalih). Artinya, menghindari hal-hal yang
merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka.
Dengan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti dari pada
mendatangkan kebaikan. Sikap dan tindakan seperti ini telah pernah dilakukan
oleh para founding father kita saat memilih untuk membuang piagam Jakarta dari
undang-undang yang diyakini memiliki potensi dalam memecah belah bangsa dan
Negara.
Maslahatul amah menjadi prinsip dan orientasi
sosial paham keislaman. Prinsip inilah yang semestinya dijadikan pemerintah
sebagai objek dari segala macam sikap dan tindakan yang diambilnya. Seperti dalam
adagium fiqh, “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas rakyat sepenuhnya
bergantung kepada kebutuhan dan kesejahteraan mereka.” (tashruf al-imam ala
al-raiyyah manuthun bi almashlahah).
Persoalan-persoalan formalisasi ideologi agama
lebih khususnya islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak menjadi
kebutuhan utama. Justru penampilan agama tersebut harus terwujud tanpa
formulisasi dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Syariat islam
menurut penulis lebih tepat dijadikan sebagai etika sosial dibanding sebagai hukum
positif Negara. Perwujudan syariat islam menjadi etika sosial dapat terjadi
melalui infiltrasi budaya.
Terjadinya saling pengaruh dan mempengaruhi
secara persuasif antara budaya lokal dengan budaya yang terdapat dalam ajaran
agama yang dibawakan oleh islam. Sehingga penggunaan budaya/adat lokal menjadi
wahana apa yang tadinya dikenal sebagai budaya agama adalah sesuatu yang
benar-benar hidup dalam perkembangan sejarahnya. Membangun kesadaran bahwa
agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan dari pada membuat dirinya
menjadi wahan formulisasi agama yang bersangkutan dalam bernegara. Ini lah yang
seharusnya menjadi tujuan kita. Bukankah begitu?
______________________
*Hasil membaca buku karya Gus Dur Islamku, Islam Anda, dan Islam kita.
______________________
*Hasil membaca buku karya Gus Dur Islamku, Islam Anda, dan Islam kita.
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas saran dan kritiknya