Image by: Gusti |
Eksistensialisme berasal dari kata “eks” yang artinya “keluar” dan sistensi yang berarti “menempatkan”. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia ber “ada” (bereksistensi) dalam dunia. Secara umum manusia dalam keberadaannya sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan, merencanakan berdasarkan pada pengalaman yang konkret.[1]
Apa yang membedakan manusia dengan binatang? Manusia
menyadari dan mempertanyakan keberadaannya, eksistensinya, sementara hewan
tidak. Eksistensi mendahului esensi. Eksistensialisme merupakan gerakan yang mengkritik pandangan-pandangan
filsafat sebelumnya. Yang cenderung menganggap manusia adalah benda serta
tuntutan agar eksistensi personal seseorang harus diperhatikan secara serius. Semisal reaksi kritik kepada
aliran filsafat materialism dan idealism. Ada beberapa kritik aliran
eksistensialisme terhadap filsafat sebelumnya, yakni sebagai berikut;
1) Eksistensialisme adalah
pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern khususnya
terhadap idealisme Hegel.
2) Eksistensialisme adalah suatu proses
atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari
kehidupan konkrit.
3) Eksistensialisme juga merupakan
pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman
industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
4) Eksistensialisme merupakan protes
terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis yang cenderung
menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
5) Eksistensialisme menekankan situasi
manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
6) Eksistensialisme menekankan keunikan
dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.[2]
Jadi dapat dikatakan aliran ini menganggap
bahwa hanya manusia lah yang bereksistensi. Eksistensi merupakan cara khas
manusia mengada. Perhatian utama diarahkan pada manusia dan oleh karena itu,
filsafat ini bersifat humanistis, bereksistensi harus diartikan secara dinamis.
Pengertian bereksistensi berarti bahwa manusia menciptakan dirinya secara
aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan, manusia ditinjau sebagai
"sesuatu" yang terbuka dan manusia adalah realitas yang belum selesai
dan harus dibentuk.
1.
Soren
Abye Kierkegaard (1813-1855)
Søren Kierkegaard membangun satu sistem filsafat yang
tidak menggumuli persoalan-persoalan universal dan abstrak, melainkan
persoalan-persoalan konkrit sekaligus menyentuh wilayah individu. Sebab,
menurut Kierkegaard, persoalan-persoalan praktis sehari-hari itulah yang
konkrit dan menjadi persolan eksistensial manusia.[3]
Cetusan
“eksistensi” yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya
tentang manusia sebagai individu yang bereksistensi. Ia melihat bahwa hal yang
paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Menurut
Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu
yang konkrit karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi,
yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya.
Oleh karena
itu, aku yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain,
sebab jika aku yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain
itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi
tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang
konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku
sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu.
Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk
merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard,
eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.[4]
Menurut
Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan
mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal
dan subjektif.[10] Dengan
kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam
kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus
dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual
melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu.
Berangkat dari
kebebesan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak
menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat
sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu,
dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil
keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak
untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku
lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani
mengambil keputusan maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya.
Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan
mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana
arah hidupnya.[5]
2. Friedrich Wilhelm Nietzche
(1844-1900)
Dalam
pandangan eksistensinya tertuang dalam konsep Übermensech dimana konsep ini
diciptakan sebagai suatu tujuan hidup manusai didunia ini agar mereka bisa
eksis. Ubermensech ini bisa di katakan sebagai ideal yang ingin dicapai oleh
manusia. Ubermensech mengajarkan kita untuk mengatasi segala
hegemoni dengan kekuatan kita sendiri. Oleh karena itu, tujuan utama konsep
ini adalah membuat manusia yang lebih berani kuat, cerdas, dan hebat sehingga
manusia dapat lepas dari kehanyutan suatu hegemoni sehingga manusia itu
mempunyai jati diri yang sesuai dengan dirinya dan ditentukan oleh dirinya
tanpa di kukung norma dan nilai yang berlaku.
Dalam
pandanganya, manusia itu harus terus menerus melampaui dirinya sendiri. Oleh
karena itu, manusia tidak butuh norma karena manusia mempunyai norma sendiri
karena manusialah yang menciptakan nilai dan norma tersebut. Manusia unggul
harus meninggalkan apa yang menjadi kepercayaan orang kebanyakan. Manusia
unggul itu tidak mudah karena harus melewati banyak penderitan dan cobaan.
Nietzsche
mengungkapkan manusia itu haruslah menyadari siapa dirinya dan apa yang di
inginkannya sehingga ia akan cinta kehidupan. Nietzsche sangat kesal pada
manusia yang tidak mempunyai cita-cita tapi selalu mengharapkan belas kasihan
orang lain bahkan Nietzsche merasa kesal untuk memberi manusia itu sesuatu
tetapi kesal juga untuk tidak memberi apa-apa. Seseorang Ubermensech itu harus
mempunyai keberanian untuk memusnahkan nilai-nilai lama. Terkadang kebenaran
itu sungguh pahit untuk diungkapkan tapi kebenaran itu harus diungkapkan sebab
kebenaran tidak bisa disembunyikan karena dapat berbalik menjadi racun yang membinasakan.
Dalam
pandangannya, hidup itu kenikmatan yang harus maknai sedalam-dalamnya walupun
sepahit apapun penderitaanya hingga moment terkecil. Hal ini terlihat absurd,
di mana manusia harus mencari makna diantara ketiadaan makna. Dalam bukunya
yang berjudul sabda Zarathustra ini digambarkan bahwa manusia unggul harus
bergairah dalam hidup dan harus bebas dari rasa dosa dan kekhawatiran. Ia harus
mencintai kehidupan ini sampai moment terkecil tanpa adanya penyesalan.
Penggambaran ini sudah terkuak eksistensialis yang mengungkapkan manusia itu
selalu dinamis dan belum selesai karena harus berkarya.
Nietzsche
terus mengungkapkan pentingnya keberanian yang harus dimilki oleh manusia atas
atau manusia unggul. Manusia unggul harus berani menghadapi segala tantangan
yang ada didepan, dan manusia harus berani menderita guna mencapai tujuan
hidupnya yaitu mencapai Übermensch,
bahkan keberanian itu harus ditunjukkan dalam menghadapi maut. Kematian itu
datangnya harus disambut seperti kita menyambut kelahiran atau kebahagiaan.
Demikian
menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power) dan
untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan
kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3.
Jean
Paul Sartre (1905-1980)
«manusia
tidak lain adalah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri»
Demikian yang
dikatakan Sartre, menurutnya eksistensi lebih dulu dibanding esensi (L’existence précéde I’essence). Jika
eksistensi mendahului esensi, maka manusia bertanggung jawab terhadap
keber-ada-annya (existence). Ia
berpandangan bahwa manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama
hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu.
Oleh karena itu, menurut Sartre, satu-satunya landasan nilai manusia adalah
kebebasan dirinya. Ia menekankan pada kebebasan manusia. Manusia diciptakan
mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
ber-eksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi
dirinya sendiri.
Bagi Sartre, manusia mengada dengan
kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai demikian itu maka ia tidak bisa
dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya manusia berbeda dengan adanya
hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri. Dengan lain perkataan
bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang
lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului
esensi.
Demikian Sartre menegaskan asas
pertama dari ajarannya. Ini berarti pula bahwa bagi Sartre asas pertama sebagai
dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai subyektivitas.
Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan
ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang
masa depannya, maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya
sendiri.
Ini mengandung arti bahwa manusia
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun jadinya eksistensinya,
apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya itu, tiada lain yang
bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri
itu, manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa
yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap
alternatif-alternatif yang ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa
mempersalahkan orang lain tidak pula bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan.
Dalam artian tertentu,
definisi Sartre mengenai eksistensialisme hanya meradikalkan pandangan yang
sangat umum di antara kebanyakan ahli ilmu sosial: bahwa tidak ada naluri yang
menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai
kucing. Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak
ada pilihan. (Laba-laba penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung
berkicau pasti berkicau). Benar bahwa ada fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh
manusia yang bekerja dalam keharusan daripada dalam kebebasan, tetapi
fungsi-fungsi tubuh manusia yang seperti itu tidak pernah menghasilkan tindakan-tindakan
manusia sesungguhnya sebagai contoh adalah perbedaan mengedipkan mata (tindakan
manusia) dan berkedip (bukan tindakan manusia sesungguhnya)
[1] Achmadi, Asmoro 2011, Cet. Ke III, Filsafat
Umum. Jakarta: Rajawali pers, hlm. 127-128
[2] Ibid. hal 129
[3]
Harun Hadiwijono, 1980, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, Hal. 124
[4]
Save M. Dagun, 1990, Filsafat
Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, Hal. 50
[5]
Harun Hadiwijono, opcit.
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas saran dan kritiknya