Image by: Gusti
Agama dan Solidaritas Kelompok
Oleh: M. Eka Gusti Agung Pratama
Perdebatan mengenai persoalan
agama tak pernah selesai untuk dibicarakan dalam kehidupan masyarakat. hal ini
dikarenakan agama sangat dianggap penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi
dalam konteks ke-Indonesiaan yang masyarakatnya memang begitu kental dengan
agama dan budayanya. Hampir dari sekian banyak persoalan yang ada di Indonesia,
baik persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya, persoalan agama selalu
menjadi topic terhangat untuk diperbincangkan. Pembahasan mengenai agama tidak
hanya tmenjadi bahan pembicaraan atau kajian dalam lingkungan masyrakat lapisan
atas dan para intelekual saja. Melainkan juga menjadi pembicaraan dalam
lingkungan masyarakat bawah dan awam.
Para kaum intelektual atau
masyarakat lapisan atas yang pernah mengenyam pendidikan tinggi mempersoalkan
agama dan relevansinya terhadap perkembangan zaman. Beberapa tokoh pemikir
barat seperti E.B. Taylor mengatakan bahwa perkembangan yang semakin pesat dan
modern diyakini akan menggerus ekstsitensi agama. Menurutnya keyakinan akan masyarakat
akan mengalami evolusi bersamaan dengan tingkat nalar dan pengetahuannya.
Secara perlahan perkembangan zaman yang semakin modern akan menjadikan sains
atau pengetahun positivistic sebagai tolak ukur kehidupan. Jika hal tersebut
tejadi maka eksistensi agama lenyap dan akan tergantikan oleh sains. Oleh
karena itu banyak dari kaum intelektual mempertanyakan eksistensi agama dan
relevansiny terhadap perkembangan zaman.
Sedangkan di lingkungan
masyarakat lapisan bawah dan awam juga turut ikut membahas persoalan agama.
Mereka melihat moralitas semakin tergurus dan pengabaian terhadap ajaran agama
semakin banyak terjadi. Sehingga sebagian besar dari mereka menganggap bahwa
hari kiamat yang diramalkan oleh agama akan terjadi dalam waktu dekat. Dan
satu-satunya cara adalah beribadah sebanyak mungin sebagai persiapan dan bekal
untuk kehidupan selanjutnya setelah kematian.
Tidak hanya itu, selain menjadi pembahasan
yang hangat. Disisi lain pembahasan mengenai isu-isu keagamaan juga sangat
sensitive untuk diperdebatkan. Sensitifnya pembahasan mengenai isu-isu
keagamaan di indonesia tentu tidak jauh dari karakter masyarakat itu sendiri
yang dalam kehidupan sehari-hari memang kental dengan nuansa keagamaannya.
Demikian tentu menjadi buah
simalakama yang membuat dilema tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Kentalnya
nuansa keagamaan membuat pembahasan mengenai isu keagamaan tak pernah sepi
untuk dibicarakan namun di satu sisi pembahasan mengenai isu ini harus dengan
ekstra hati-hati dikarenakan tingkat sensifitas masyarakat itu sendiri. hal ini
dapat kita lihat saat pilkada Jakarta
beberapa tahun yang lalu. Pembahasan mengenai isu keagamaan melonjak tinggi
menjadi tranding tropic yang hangat diperbincangkan termasuk di dunia maya.
Gelombang ini disebabkan oleh seorang gubernur yang membahas isu keagamaan
dengan mengutip kitab suci salah satu agama sehingga memicu amarah sebagian
masyarakat yang sensitif dan mudah tersinggung.
Dapat dikatakan bahwa tingkat sensitif
pembahasan isu agama mempengaruhi tingkat kebebasan beragama saat itu. Setara institute
mencatat terdapat 109 peristiwa dengan 136 tindakan pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Sebagian besar peristiwa pelaggaran terjadi di DKI
Jakarta sebanyak 23 peristiwa.[1]
Dari data tesebut dapat disimpulkan bahwa agama dalam konteks ke-Indonesia-an
sangat mempengaruhi faktor kehidupan sosial masyarakat. Atau dalam kata
memiliki peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. mengapa demikian?
Hal ini dikarenakan agama begitu
sakral dan sangat dianggap penting oleh masyarakat. Selain itu, pada
substansinya agama merupakan pedoman hidup bagi umat manusia dalam rangka
memperoleh kebahagiaan.[2] Dengan
manusia meyakini agama sebagai jalan untuk memperoleh kebahagian hidup baik
dalam kehidupan di dunia maupun setelahnya. Maka manusia akan menjalani
kehidupannya dengan semangat keagamaan yang diyakininya. Ini lah salah satu
peran agama yang berpengaruh dalam
suatu proses pembentukan perilaku individu, nilai, norma dan bahkan tatanan
sosial masyarakat. Tidak sedikit nilai dan norma etis yang berlaku di dalam
kehidupan masyarakat berasal dari semangat ajaran agama dan tidak bisa dipungkiri
menjadi salah satu sumber nilai dan norma yang paling penting dalam kehidupan
masyarakat. Tentu dengan demikianlah yang
menjadikan agama sebagai faktor pendorong yang sangat mempengaruhi kehidupan
sosial.
Tidak hanya membentuk nilai dan norma
etis dalam kehidupanmasyarakat, agama juga
memiliki peranan penting dalam membentuk solidaritas social. meminjam istilah
Emile Durkheim disebut dengan instrument solidaritas social[3] atau dalam karya ibnu disebut dengan ashabiyah.
Terbentuknya intergrasi dan solidaritas sosial merupakan fungsi dari agama. Hal
ini terjadi dikarenakan semangat yang terdapat dalam ajaran agama dan
diaplikasikan oleh para pemeluknya. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa fungsi
agama dalam kehidupan masyarakat selain menjadi sumber dan penguat sebuah nilai
dan norma etis, juga salah satunya adalah mengintegrasikan bagian-bagian yang
terpisah bersama-sama (individu) dan menjadikannya sebagai suatu kesatuan.
Menurut Emile Durkheim dalam teorinya yang mengatakan bahwa Fungsi utama
agama ialah meningkatkan kohesi dan solidaritas sosial. Unsur kohesi dan
solidaritas sosial yang tinggi akan menyebabkan control sosial yang juga kuat.
Setiap individu memiliki sense of belonging terhadap komunitasnya sehingga hal
itu berfungsi ganda baik dalam meningkatkan self control maupun social control.
Selain itu, karena individu memiliki sense of belonging yang tinggi baik
terhadp komunitas maupun agama yang dianutnya, individu juga akan merasa
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan kepercayaan yang dianutnya.[4]
Oleh karena itu, agama dapat mengharuskan orang untuk berkumpul, untuk
bertindak secara bersama-sama (sehinggga menyesuaikan dorongan perorangan
dengan kekuatan moral atau sosial bersaama) dan sebagai suatu konsekuensi yang
diperkuat melalui kemampuan perorangan dan bersama dalam menghadapi kegembiraan
dan kesediaan kehidupan sehari-hari.[5]
Dalam kesejarahan Islam, pemikiran seperti Durkheim bisa kita temukan
dalam karya-karya Ibn Khaldun. Dalam istilah Ibnu Khaldun disebut dengan ashabiyah.
Secara etimologis ashabiyah kata dasarnya adalah ashaba yang
artinya adalah mengikat. Ashabiyah sendiri mempunyai fungsi sosial untuk
mengikat suatu komunitas sosial sehingga menghasilkan solidaritas sosial. Ashabiyah
terbentuk melalui kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Ibn Khaldun
melihat bahwa agama menjadi salah satu faktor yang sangatefektif meembentuk
ashabiyah bagi suatu komunitas sosial. Bahkan ashabiyah yang terbangun dengan
didasari dari agama lebih mempunyai ikatan persatuan lebih kuat dibanding
diikat dengan suku, keturunan bahkan juga ikatan keluarga. Fenomena yang jelas
dan mudah untuk membuktikan teori tersebut dapat dilihat dari fenomena gerakan
keagamaan seperti gerakan 212 yang terjadi beberapa tahun yang lalu atau
fenomena gerakan keagamaan lainnya.
Tentu pembentukan solidiritas kelompok
dari masyarakat dilatar belakangi oleh nilai dan norma etis yang diambil dari
tafsiran ajaran agama. Kemudian di sepekati oleh masyarakat yang memiliki
kesamaan cara dalam memahami ajaran. Sehingga terbentuk lah nilai dan norma
yang baku di dalam kelompoknya. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sensisfitas isu keagamaan terjadi apabila pembahasan individu/kelompok
menyinggung persoalan mengenai nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh suatu kelompok.
Kemudian terjadi konflik yang kemudian sering diklaim dengan sebutan konflik
agama, pencemaran agama, penistaan agama dan sebutan lainnya yang dimana
konflik tersebut akan memperkuat suatau kelompok.
[1] Https://setara-institute.org/laporan-tengah-tahun--kondisi-kebebasan-beragamaberkeyakinan-dan-minoritas-keagamaan-di-indonesai-2018/ diakses pada tanggal 28 april 2019 pukul 20.59
WIB.
[2] Jirhanuddin, 2010,
Perbandingan Agama Pengantar Studi Memahami Agama-Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal. 3
[3] Emile Durkheim,
Teori-Teori Sosial,. Hal 97
[4] Dr. Sindung Haryanto,
M.Si., 2015, Sosiologi Agama; dari Klasik Hingga Post Modern, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media. Hal. 23-24.
[5] Bryan S. Turner, Cet.
1, 2012, Teori Sosial: Dari Klasik Sampai Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hal. 698
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas saran dan kritiknya