Epistimologi Islam

Image by: Gusti


Epistimologi Islam

Oleh : Mega Diah Wati

    Isalam merupakan sebuah agama yang sangat memperhatikan situasi dan kondisi pada zamanya. Selain itu juga islam identikan agama yang respondsif, seperti dengan perkembangan zaman yang begitu cepat ini islam begitu pengaruhnya dalam menanagani masalah. Dari zahiliyah hingga zaman 4.0 ini, tentu banyak problem baik tekstual maupun konteks tualis seperti sabda-sabda yang begitu kontroversial,  (jihad, dan juga fatwa-fatwa keislaman lainya). Sbeleum menakar keseluruhana, akan lebi baik  jika mengnal terlebih dahulu, apa itu epistimologi, berikut adalah penjelasanya :

    Epistimologi berasal dari bahasa yunani episteme yang artinya “pengetahuan” dan logos artinya “diskursus”. dari uraian di atas, kita dapat mengartikulasikan. Bahwa epistimologi merupakan cabang dari filsafat yang berkaitan dengan teori pengetahuan. Selain itu juga Epistimologi cabang dari filsafat yang menyelidiki asal muasal. Metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa epistimologi sebagai tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Secara garis besarnya, dalam epistimologi terdapat dua aliran pokok dalam epistimologi, yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indra di nomor duakan. Hal ini timbul sejak masa renaissance yang dipelopori oleh descartes yang dikembangkan berdasarkan filsafat plato.

    Munculnya epistimologi islam, tentunya juga tidak lepas dari banyaknya masyarakat yang begitu pragmatis secara erus menerus dalam kehidupan. Bahkan ketika berbicara kebangkitan islam, kita tentu masuk kedalam pembahasan yang belum begitu sempurna. Sehingga dengan adanya kebangkitan ini pula menyebabkan kebangkitan islam sendiri tidak berjalan dengan begitu lancar, melainkan sesuatu yang stagnan. Tokoh bernama Muhammad  Abid al-Jabiri seorang pemikir islam yang berasal dari marok, ia adalah seorang filosofis islam yang terkemuka saat itu ia mengemukakan gagasa yang segar, dalam rangka proyek besar bagi kebangkitan umat islam. Munculnya nama pemikiran arab islam kontemporer ini tidak lepas dari proyek pemikiran yang ia sebut dengan kritik nalar arab. 

    Kritik nalar arab disingkat (KNA) abid ini tentu tidak lepas dari latar belakang oleh semangat revitalisme (kebangkitan islam) dalam dua gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangktan islam, sekaligus upaya untuk merealisasikan kebangkitan islam yang tak kunjung datang. Kebangkitan islam di era saat ini (moderen) dipandang oleh abid belum begitu berhasil atau bahkan nyaris gagal. Salah satu penyebab kegagalan kebangkitan islam tidak lain adalah ketidak tepatan dalam mensikapi tradisi. Yang kemudian berimplikasi pada hilangnya mata rantai, semangat intelektualitas, dan sains yang menghubungkan masa lalu nan gemilang.

    Menurut abid, tradisi merupakan sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu, dan masa lalu itu apakah masa lalu kita atau masa lalu orang lain, atau bahkan masa lalu tersebut merupakan masa lalu yang jauh maupun yang dekat. Dalam definisi tradisi abid ini, ada dua yang harus di perhatikan. Pertama bahwa tradisi adalah sesuatu yang menyertai kekinian kita, yang tetap hadir dalam kesadaran atau ketidak sadaran kita, dan kehadiranya tidak di anggap sia-sia. Kedua tradisi yang menyakup kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat dan sains, yang kedua ini disebut abid sebagai al-insan. 

    Namun abid al-Jabiri menegaskan bahwa tradisi yang hidup yaitu tradisi yang berakar kuat pada pemikiran-pemikiran islam, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama. Sejak abak ke dua hijriyah hingga masa sebelum kemunduran, sekitar abad ke delapan sebelum hijriyah. Maka dengan ini tidak heran jika abid membongkat tradisi untuk di pahami secara obyektif.  

    Pada abad ke-5 terjadi masa penyerangan terhadap kajian filsafat, yang kemudian juga dipahami sebagai penyerangan terhadap seluruh kajian filsafat. Dan di abad itupula terjadi dominan tokoh tunggal yakni al-Ghozali, namun dengan terjadinya penyerangan  munculah pertarungan hebat dalam paradigma, antara al-Ghozali dengan ibnu Rusyd. Salah satu tokoh yang terkenal dalam epistimologi yaitu Abed al-Jabiri dalam mengkontruksikan epistimologinya bermula dengan dasar pemikiran pendahulu, seperti Ibnu Mandzur, Imam al-Syafi’i, al-Jahidz (225 H), al-Syartibi, al-Ghozali dan al-Muhasibi.sebab tokoh Abed al-Jabiri ini memakai istilah bayani dari kata al-bayan, secara terminologis yang mengacu pada karya Ibnu Mandzur, di mana di dalamnya tersedia pada karya Ibnu Mandzur, di mana di dalamnya tersedia materi-materi bahasa arab sejak permulaan masa tadwin,  yang masih memunyai makna asli yang belum tercampuri oleh pengertian lain, karena dari makn asli tersebut akan diketahui watak dan situasi yang mengitarnya. Maka dengan demikian al-Jabiri mengkontruksikan epistimologinya dari al-bayan , al-bayan disini dengan  empat pengertian, sesuai makna bahsanya yakni al-Fasl wa al-infisal secara rirarkisnya sebagai metode dan al-dzuhur wa al-idzhar sebagai visi (ru’yah).

    Sedangkan dari imam al-Syafi’i (w 204 H) al-Jabiri menganggap sebagai peletak dasar aturan-aturan penafsiran wacana bayani, karen al-Jabiri  menempatkan tokoh ini sebagai perumusan nalar islam atau lebih tepatnya nalar Arab-Islam. Karena syafii merupakan peletak al-ushul al-bayyaniyah sebagai kerangka penting dalam berfikir nash. Dalam perkembangan epistimologi bayani, sedangkan al-syartibi seorang tokoh ulama madzhab maliki menawarkan tiga teori utama yaitu al-istinjaj (qiyas jama’l atau silogisme) istiqra (induksi) dan maqosyid al-syariah.

    Adapun metode yang digunakan Abid al-Jaibiri yakni dekontruktif. Yaitu mengubah tradisi yang kurang releven dengan realitas dan bersikap eksis terhadap tradisi yang releven. Tradisi tidak seharusnya di kontruksi ulang, akan tetapi dilakukan kontruksi terhadap tradisi yang tidak relevem lagi. Ini mununjikan bahwa al-Jabiri menolak kelompok transformatif serta idialistik yang secara realitas keduanya tidak dapat menjawab modernitas. Dan pendekatan al-Jabiri tidaklain dari historis dan filosofis.  

    Al-Jabiri membangun epistimologi bayani dengan mengacu kepada kamus lisan al-Arab Ibn Mandzur, sehingga makna al-bayani mengandung empat pengertian yakni al-fasl wa al-infishal dan aldzuhur wa al-idzhar. Sedangkan terminologi kajian bayani terbagi menjadi dua yaitu :aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi) dan syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al-khitabhi). Penetapan makna bayani secara ilmiyah ini menandai tahapan baru, tidk saja dipahami sebagai al-wudhuh atau ai-idhar, akan tetapi sebagai suatu epistimologi keilmuan yang definitif.  Secara bahsa bayani berarti penjelasan, ketetapan penyataan secara istilah, dimaknai sebagai pola pikir bersumber pada nash, ijma dan ijtihad. Epistimologi (ulumul bayan) merupakan sistem epistimologi yang paling awal muncul dalam pemikiran arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus) , seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ulumul qur’an. Teologi kalam dan teori sastra nonfilosofis.

    Sistem ini muncul dari kombinasi dari berbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Dan sisitem ini juga didasarkan pada metode epistimologi  yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistimologi pula dengan menyadarkan apa yang tidak di ketahui dengan yang telah di ketahui, apoa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Menurut Abid al-Jabiri sendiri dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak  pada  teks (wahyu). Sementara akal, mempunyai posisi sekunder dalam arti perangkat membedah kebenaran yang mempunyai kedudukan otoritas yang lebih rendah arti pada teks. Dan tugas akal dalam hal ini adalah tidak lain untuk menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara untuk mengaplikasikan interpretasi teks tersebut berada di luar epistimologi ini.

    Sedangkan epistimologi yang kedua yakni epistimologi burhani, yang dimaksud dari burhani ini adalah mengukur benar tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman manusia dan akal dengan terlepas dari teks wahyu yang bersifat sakral, dan dapat memunculkan partipatik. Sumber epistiologi ini tidak lain dari realitas dan empirisme : alam sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari hasil percobaan, penelitian, eksperimen, baik di laboratorium ataupun alam  nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. 

    Dan yang terakhir yakni epistimologi Irfani. Dalam bahasa arab dapat diartikan dengan makrifat, dikalangan sufi, makrifat di sini diartikan  sebagai pengetahuan langsung  tentang tuhan, berdasarkan atas wahyu atau petunjuk tuhan. Disiplin gnotisisme (ulum al-irfan) yang didasarkan kepada wahyu, dan “pandangan dalam” sebagai metode epistimologinya, dengan memasukan sufisme, dan orientasi terhadap al-qur’an dan orientasi filsafat iluminasi. Ketiga model epistimologi di atas di singkat,metode bayani adalah rasional, metode irfani adalah intuitif, dan metode burhani empirik seperti hal dalam epistimologi umumnya.

    Dari uraian di atas, kita dapat memetik bebera point, dengan zaman yang begitu cepat ini, baik cepatnya ilmu sosial media dan ilmu lainya. Kita sebagai mansuai islam harus mempunyai polapikir yang baik, dengan rujukan yang ada dan juga tidak lepas dari pemikitan hati yang telah tuhan ciptakan pada kita. Bahwa pada dasarnya, kebudayaan ilmu ( hadharah al-ilm) dibangun atsa pondasi tata karena nalar burhani, sedangkan kebudayaan fiqih dibangun  atas otoritas teks dan otoritas salaf dengan qiyas sebagai metode kerja yang utama, sedangkan kebudayaan filsafat dibangun di atsa koherensi argumen-argumen logika. Dengan hal  paradigma abid ini juga abid berpandangan dengan sendirinya, menganggap tidak semua sistem tersebut adalah usang. Menurutnya terdapat jalan untuk memajukan akal Arab untuk mengejar ketertinggalanya dengan barat melalui apa yang disebut olehnya “ proyek peradaban andalusia” singkatnya abid mengajak melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernisme, seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andaluisa yang dimotori oleh Ibnu Rusyd dan lain-lainya.

Demikian bahan diskusi hari ini, penulis paham betul bahwa dalam tata bahasa dan letak penulisan belum  begitu sempurna, maka dari itu penulis mohon maaf apa bila ada kesalahan yang kurang berkenan. Terimaksih. SEMANGAT !!

Comments