Image by: Gusti
Mari Melek Politik
Oleh: M. Eka Gusti Agung Pratama
Membahas persoalan politik praktis tentu tidak aka nada
habisnya. Sebab politik tidak hanya berbicara soal kalah menang dalam perebutan
kursi kekuasaan. Melainkan juga bagaimana cara mengamankan kursi kekuasaan saat
perebutan usai dimenangkan. Salah satu cara untuk mengamankannya adalah
menjadikan musuh sebagai sekutu. Cara ini lah yang banyak digunakan oleh para
politisi termasuk jokowi saat ia memenangkan pemilihan presiden yang kedua kalinya kemarin.
Tentu cara ini adalah cara yang cukup efektif digunakan
sebagai bentuk rekonsiliasi politik yang sebelumnya memanas khususnya untuk
para pendukung fanatic ditataran greasroot. Misal diangkatnya prabowo subianto
dan sandiaga uno sebagai mentri merupakan salah satu cara jokowi untuk
menenangkan para pendukung keduanya. Demikian dengan cara ini jokowi bisa
melanjutkan pemerintahnnya tanpa ada pertentangan diantara tubuh rakyat yang
sebelumnya menjadi pendukung musuh politiknya.
Menjamurnya Politik Dinasti
Namun banyak dari para politisi menggunakan cara yang seperti
demikian dengan tujuan yang tidak baik. Tidak sedikit dari mereka menggunakan dengan
bermasud untuk mengendalikan kondisi perpolitikan yang telah ada sebelumnya
atau dalam kata lain untuk membungkam kelompok yang berpotensi menjadi pengganggu
kekuasaannya. Tidak hanya itu alih-alih mereka menggunakan cara ini untuk
mempersiapkan diri dengan menggalang dukungan menuju pemilihan selanjutnya.
Parahnya lagi, mereka memperpanjang kekuasaannnya dengan mencalonkan istri,
anak, keluarga, kerabat dan kroninya saat dirinya tak lagi punya kesempatan
mencalonkan diri kembali. Sehingga politik semacam ini membuahkan bentuk
praktek politik dinasti.
Politik dinasti merupakan praktik politik kekuasaan dengan
memberi posisi anggota keluarga dalam struktur kekuasaan. Tentu praktik semacam
ini merugikan system politik kita karena problem utama dari politik dinasti
adalah tidak dibangunnya persaingan berdasarkan kompetensi dan kemampuan. Atau
dalam kata lain system politik dinasti lebih banyak mengakomodasi kedekatan
personal tanpa melihat potensi dan kemampuannya. Selain itu Politik dinasti
tidak hanya merugikan secara politik melainkan juga merugikan secara ekonomi
sebab dapat merusak persaingan yang sehat. Hal ini dikarenakan pemerintahan
cenderung melibatkan orang dekat dalam menopang kebijakan ekonominya. Maka
kecendurungan untuk melakukan praktik korupsi begitu besar bahkan sering
terjadi seperti kasus dinasti ratu atut di Banten.
Politik dinasti kian menjadi-jadi dalam kehidupan system
politik kita. Keluarga presiden, wakil presiden dan djojohadikusumo yang sempat
ramai diperbincangkan di media mainstream hanya sebuah contoh kecil saja. Masih
banyak praktik-praktik politik yang dilakukan secara nepotism yang belum kita
dengar. Praktik politik semacam ini telah banyak dan telah lama dilakukan oleh
para kaum elite politik yang masih belum puas dengan kekuasaannya. Praktik ini
terjadi di berbagai daerah dalam berbagai macam jabatan yang berbeda.
Praktik politik dinasti seperti yang demikian banyak terjadi
di tataran daerah. Misal seperti kasus dinasti ratu atut di banten, bontang dan
masih banyak yang lainnya. Tentu semakin banyak praktik semacam ini akan
membawa dampak yang begitu buruk bagi indeks demokrasi kita yang saat ini telah
menurun. Economist Intelligence unit (EIU) mencatat bahwa index demokrasi kita
turun drastis pada tahun 2019 dengan skor 6,48. Meskipun skor tersebut menjadi
skor yang terendah kedua sejak satu decade terakhir namun harus tetap selalu kita
perhatikan. Sebab salah satu penyebab turunnya indeks demokrasi kita adalah
banyaknya praktik politik dinasti yang terjadi di berbagai daerah.
Tentu hal ini tidak bisa kita biarkan begitu saja. Meskipun
tidak ada undang-undang yang melarang praktik politik seperti ini. Namun praktik
semacam ini merupakan bentuk penghianatan terhadap amanah reformasi dan akan merusak
kehidupan demokrasi kita. Sebab akses untuk terjun dalam dunia politik akan
dimonopoli oleh satu kelompok yang tentunya telah lama berkuasa.
Oleh karena itu kita sebagai masyarakat indonesia harus sadar
betul bahwa membangun kesadaran politik sangat lah begitu penting. Dengan
terbangunnya kesadaran politik akan membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam
memilih seorang kepala daerah, tidak terbujuk oleh pengaruh serangan fajar yang
dilkaukan oleh tim sukses lawan serta tetap memperhatikan dan mengawasi tindak
tanduk pemerintah daerah yang memimpinnya.
“Buta terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar,
tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak
tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa,
harga sepatu dan obat semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta
politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya dengan
mengatakan bahwa ia benci politik. Si dungu itu tidak tahu bahwa dari kebodohan
politiknya lahir pelacur, anak terlantar pencuri terburuk dari semua pencuri,
politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras
kekayaan negeri.” - Bertolt
Brech -
Kira-kira begitulah nasehat penyair Jerman yang tujukan
kepada kita sebagai rakyat yang ditelah memilih pemimpin untuk mengatur
kehidupan kita sebagai masyarakat. meskipun nasehat ini dari seorang penyair
yang berasal dari negri sebrang yang amat jauh dari negri kita, tentu hal ini
tidak menjadi masalah bagi kita untuk mencerna dan mengaplikaskannya dalam
kehidupan kita sebagai warga Negara Indonesia. Nasehat ini masih relevan dengan
kondisi dan situasi yang kini kita hadapi sebagai. Bukan begitu?
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas saran dan kritiknya